Bebas...dan Terbanglah !

Bebas...dan Terbanglah !

Sabtu, 12 Desember 2009

“Penerapan Syariat Bisa Kontraproduktif”

Syariat Islam yang diterapkan secara terburu-buru hanya akan memunculkan paradoks dan konflik di antara kaum muslim dan juga masyarakat Indonesia secara umum. Pemaksaan penerapannya, tanpa mempertimbangkan visibilitas dan viabilitasnya hanya akan menjadikan syariat Islam kontraproduktif bagi masyarakat.

Syariat Islam yang diterapkan secara terburu-buru hanya akan memunculkan paradoks dan konflik di antara kaum muslim dan juga masyarakat Indonesia secara umum. Pemaksaan penerapannya, tanpa mempertimbangkan visibilitas dan viabilitasnya hanya akan menjadikan syariat Islam kontraproduktif bagi masyarakat. Demikianlah sebagian inti dari ungkapan-ungkapan Rektor IAIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra ketika diwawancarai Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Berikut petikannya:

Kita akan memfokuskan pada masalah legislasi atau bagaimana syari’at Islam dijadikan sebagai hukum positif atau UU resmi. Apakah mungkin syariat islam dilegislasikan di Indonesia?

Terima kasih. Kalau kita bicara secara umum, saya kira kalau soal kemungkinan, itu mungkin saja. Tapi kan persoalannya yang perlu kita lihat juga adalah visibilitas dan viabilitasnya.

Maksudnya?

Visibilitasnya kalau kita lihat, hukum apapun termasuk hukum syariat, itu kan berlakunya di dalam masyarakat. Jadi kita juga harus memperhitungkan kenyataan masyarakat yang ada, bukan hanya kenyataan masyarakat bahwa Indonesia itu sebagian besar orang Islam, tetapi juga ada kelompok-kelompok lain yang non-muslim. Dan bahkan kondisi di antara kaum muslim itu sendiri. Saya kira, kita harus mengakui bahwa umat Islam di Indonesia bukanlah realitas monolit, tapi adalah realitas yang beragam. Banyak golongannya, pemahaman keislamannya, tingkat kecintaannya, keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda.

Apa akibatnya terhadap pelaksanaan syariat Islam?

Akibatnya adalah, ini merupakan sebuah realitas sosiologis yang memang akan mempengaruhi visibilitas dan viabilitas syariat Islam itu sendiri ketika diterapkan. Artinya, tadi saya katakan lapisan masyarakat Indonesia, masyarakat muslim yang berbeda-beda tingkat pemahaman, kecintaan, dan keterikatannya pada Islam, kemudian diterapkan syariat Islam, saya khawatir ini akan menimbulkan persoalan viabilitas.

Viabilitas itu artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahaman dan keterikatannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan. Nah, inilah yang saya kira harus dipikirkan secara dingin, bahwa realitas seperti itu perlu dipertimbangkan betul. Karena tanpa itu, saya pikir, hukum Islam tidak memiliki viabilitas, karena mungkin nanti hanya diikuti oleh sebagian orang, tapi apakah sebagian orang Islam lain bisa mengikuti itu, apakah harus dipaksa?

Nah, kalau seandainya syariat Islam diundangkan di Indonesia, bagaimana mengatasi perbedaan-perbedaan mazhab fikih?

Ya, saya kira itu juga yang perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam fikih itu sendiri. Katakanlah misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu menjadi hilang. Itu satu contoh yang saya kira perlu dipertimbangkan.

Yang kedua, juga ada pendapat dari sebagian ulama yang mengatakan dalam hal seperti itu, sebagian dari hukum hudud itu merupakan wewenang atau ta’zir dari pemerintah, dari kekuasaan.

Apakah syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan hudud, bisa dilaksanakan secara “swasta” oleh umat Islam, seperti dalam kasus Ambon?

Ya nggak bisa. Karena di dalam fikih sendiri dikatakan bahwa pelaksanaan hukum Islam harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini oleh hakim yang menerima otoritas (tauliyah) dari kepala negara. Jadi, dalam fikih klasik maupun fikih siyasah, yang melaksanakan hukum Islam itu adalah khalifah. Kalau dalam masa sekarang adalah presiden. Nah, presiden RI, sejak zaman Soekarno dulu itu kan sudah disepakati secara taqrir dan secara diam oleh seluruh umat Islam di Indonesia bahwa presiden kita itu adalah waliyyul amri, sebagaimana yang diputuskan oleh ulama NU pada tahun 1954.

Kenapa dalam pelaksanaan syariat Islam, soal hudud itu yang menjadi perhatian penting?

Di zaman sekarang ini, ketika secara umum di masyarakat kita terjadi kekacauan, terjadi disorientasi sosial, dan kemudian juga hukum kurang ditegakkan oleh aparat keamanan, maka pada saat itu orang berpikir tentang sebuah alternatif.

Jadi pelaksanaan syariat Islam itu impian akan alternatif tentang keadilan?

Ya, jadi semacam sublimasi dan juga dijadikan semacam eliksir. Eliksir itu artinya obat yang dianggap akan menyelesaikan semuanya. Padahal, sekali lagi, kalau kita lihat dari filsafat hukum Islam, hukum itu tidak akan berjalan baik kecuali memang masyarakatnya sudah siap dan secara internal setiap pribadi maupun masyarakat itu mempunyai kesiapan psikologis dan kesiapan dalam bidang keagamaan.

Ada yang berpendapat bahwa para ulama sendiri yang “takut” terhadap pelaksanaan syariat. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya kira ada benarnya, seperti para pemikir, para ulama yang tadi saya sebutkan, karena mereka mengetahui kerumitan-kerumitan yang terjadi di dalam soal fikih itu sendiri.

Mungkin bukan takut, tapi mengkhawatirkan karena tahu banyak argumen. Begitu?

Ya. Karena tahu banyak argumen di situ, tahu banyak perbedaan mazhab, dan kemudian juga pada saat yang sama mereka tahu juga realitas sosiologis masyarakat, sehingga kemudian mereka melihat bahwa sebetulnya persoalannya tidak sesederhana itu. Sekali lagi saya mengatakan, orang cenderung mengidentifikasikan syariat Islam dengan hudud, hukum-hukum yang sering disebut orang sebagai hukum yang agak keras; potong tangan, hukum rajam, dan sebagainya. Tapi orang lupa bahwa sesungguhnya hukum Islam jauh lebih luas dari itu. Jadi secara aktual, sebagian besar hukum Islam dilaksanakan secara damai. Misalnya hukum dalam bidang mu’amalah, ibadah, dan sebagainya.

Bagaimana akibat dari penerapan syariat Islam terhadap hak-hak minoritas?

Secara internal harus dibicarakan dan dirumuskan dulu perbedaan-perbedaan pandangan di antara orang Islam, khususnya ahli fikih tentang penafsiran yang berbeda, khususnya soal hudud. Baru kemudian setelah itu tentang hak-hak minoritas. Saya kira, memang harus dirumuskan secara lebih rinci dan lebih detail, karena argumen para pendukung penegakan syariat Islam itu hanya mengatakan bahwa syariat ini hanya berlaku bagi umat Islam dan tidak berlaku untuk non-muslim. Saya kira, tidak cukup hanya dengan pernyataan umum seperti itu.

Soal rahmatan lil’alamin itu kan memang sangat luas. Jadi saya kira di dalam soal penerapan syariat tentu saja kita harus mempertimbangkan, baik untuk orang Islam sendiri ataupun untuk non-muslim, agar fungsi ataupun tujuan Islam sebagai rahmatan lil’alamin betul-betul tidak terkurangi dengan pelaksanaan syariat. Sebab kalau orang Islam sendiri, misalnya, karena berbagai alasan dia belum siap, kemudian dipaksakan, islam bisa kehilangan fungsinya sebagai rahmatan lil’alamin, bahkan kemungkinan menjadi beban bagi dia. Padahal di dalam Islam ada prinsip la ikraha fi al-din, jadi orang itu tidak boleh dipaksa. Dan bahkan juga di dalam perdebatan-perdebatan dalam kalam; seseorang itu boleh terkena hukuman kalau dia menjalankan sesuatu dengan bebas dan sukarela. Jadi kalau misalnya dia melaksanakan syariat Islam karena terpaksa, saya kira taklifnya (kewajibannya) juga tidak diberikan justifikasi yang seratus persen.

Islam kan cakupannya luas. Bukan hanya soal hukum, tapi juga soal moral. Namun mengapa aspek hukuman lebih banyak mendapatkan perhatian?

Hal itu karena ada persepsi yang menurut saya tidak terlalu pas, apalagi di zaman yang tidak menentu seperti sekarang ini, maka kemudian terjadi idealisasi terhadap syariah. Padahal syariah itu sendiri, dan bahkan kehidupan keagamaan secara umum sangat tergantung kepada faktor-faktor lain. Tetapi ketika orang kehilangan orientasi, mengalami dislokasi, hukum tidak tegak, dan sebagainya, maka terjadi idealisasi terhadap syariat. Seolah-olah syariat itu bisa menyelesaikan semua masalah. Padahal persoalan-persoalan internal di dalam syariat itu sendiri masih banyak, belum terselesaikan. Bagaimana kemudian kalau masalah internal ini belum diselesaikan, sementara itu juga ada keinginan kuat untuk menerapkan, apakah ini tidak akan menimbulkan masalah-masalah berikutnya.

Di Indonesia isu syariat Islam tampaknya masih berupa retorika, belum serius membicarakan mengenai isinya apa?

Ya, jadi itulah yang juga pernah saya tulis di sebuah kolom. Misalnya saja kalau memang para pendukung, para pemikir penegakan syariat Islam di Indonesia itu serius, maka seharusnya pertama-tama mereka menyelesaikan dulu persoalan-persoalan internal yang ada di dalam fikih atau di dalam syariah itu sendiri. Yang kedua misalnya juga menyelesaikan bagaimana terjadinya konflik, konflik di antara hukum syariat di satu pihak, dengan hukum positif di pihak lain, dan bahkan juga dengan hukum adat; hukum lokal itu juga bisa terjadi ketidaksesuaian.

Ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan syariat tidak cocok dengan kondisi sekarang karena budaya dan latar sosialnya berbeda dengan zaman Nabi dulu?

Inilah salah satu argumen yang sering kita dengar bahwa penerapan hukum syariat atau fikih ini terutama dalam bidang hudud, secara sosiologis dan historis tidak terlalu pas, berbeda. Karena kondisi sosiologis masyarakat muslim sekarang ini berbeda dengan kondisi masyarakat muslim pada masa nabi dulu. Karena itu, diperlukan terobosan-terobosan baru di dalam merumuskan kembali aspek-aspek pemikiran fikhiyyah, terutama dalam kaitannya dengan persoalan hudud tadi.

Menurut Anda, apa kekurangan dan kelebihan pelaksanaan syariat Islam bila kita melihat negara-negara Islam yang sudah pernah mencoba menerapkannya?

Saya kira, salah satu yang muncul adalah pemaksaan sebagai ekses dari penerapan syariat itu. Bahkan terhadap sebagian kaum muslim sendiri. Jadi kita harus akui, ada juga kalangan muslim yang belum siap untuk menerima hal seperti itu. Hal ini adalah kenyataan sosiologis. Dan di sini, fungsi dan peranan dakwah.

Tapi kalau bicara soal ekses, kita juga pernah dengar laporan, misalnya di wilayah tertentu yang berusaha menerapkan syariat Islam, misalnya perempuan harus mengenakan jilbab, dan itu tidak ada masalah buat kaum muslimah. Namun, eksesnya yang muncul adalah perempuan non muslim juga diharuskan memakai jilbab karena sulit membedakan apakah dia muslim atau bukan. Kemudian dia terpaksa mengenakan jilbab, dan untuk menjelaskan jati dirinya dia memakai salib di dadanya. Nah, ketika dia memakai jilbab dan memakai salib, menimbulkan masalah baru, dia dianggap melecehkan. Jadi ini satu masalah yang tadi saya singgung juga.

Syariat selalu diklaim hanya diberlakukan untuk orang Islam, tidak untuk orang non muslim. Tapi sebagaimana saya katakan tadi, kalau kita memang ingin menegakkan hal seperti itu, itu harus jelas, harus dirinci. Kalau tidak akan muncul ekses seperti yang saya contohkan tadi.

Banyak segi-segi dalam syariat Islam yang pelaksanaannya tidak fair. Misalnya ada rancangan Perda yang melarang perempuan keluar rumah setelah jam 22.00. Tanggapan Anda?

Saya kira memang asumsinya, khususnya mengenai rancangan Perda di Sumatera Barat itu, menggambarkan asumsi-asumsi yang menurut saya keliru mengenai syariat dan juga mengenai masyarakat. Atau bahkan mengenai tindakan kejahatan itu sendiri. Di sini seolah-olah pelaku kejahatan adalah perempuan, atau perempuan menjadi sumber dari berbagai tindakan kriminal. Padahal kita tahu bahwa sebagian besar pelaku kriminalitas itu adalah laki-laki. Jadi kenapa harus dibedakan.[]

Jumat, 27 November 2009

Catatan tentang film ‘2012’

Oleh Ulil Abshar Abdalla

Dalam Quran sendiri kita jumpai banyak visualisasi yang memikat tentang hari kiamat. Salah satu penggambaran hari kiamat yang agak-agak mendekati film Emmerich ini ada dalam Surah al-Takwir (Surah no. 81). Ayat ketiga dalam Surah itu berbunyi “wa idza ‘l-jibalu suyyirat”, ketika gunung berjalan. Dalam film Emmerich itu, digambarkan suatu proses dislokasi geologis yang dahsyat sehingga lanskap bumi berubah total. Gunung-gunung pindah lokasi, dan peta dunia seperti disusun kembali.

Film 2012 yang digarap oleh sutradara Jerman Roland Emmerich itu sekarang menjadi kegemparan di sejumlah kota di Indonesia. Ribuan orang berduyun-duyun ke gedung bioskop untuk menyaksikannya. Pertama kali pergi bersama isteri ke gedung bioskop Cineplex 21 di Setiabudi Building, saya tidak mendapatkan tiket. Semua tiket ludes, bahkan hingga pertunjukan paling akhir selepas tengah malam. Kebetulan saat itu adalah malam Minggu.

Seminggu kemudian, saya datang kembali, tetap bersama isteri, untuk menonton film itu. Kali ini lumayan beruntung, karena akhirnya kami mendapatkan tiket. Tetapi, saya harus sedikit memendam rasa kecewa, karena hanya mendapatkan tempat duduk satu baris sebelum kursi yang paling depan. Selama film itu diputar, saya harus menonton film itu dengan sedikit mendongak. Usai menonton, leher saya terasa pegal-pegal.

Kenapa film ini mendadak menjadi kegemparan? Pertama, karena judulnya sendiri, 2012. Konon, itulah tahun yang diramalkan sebagai akhir dunia atau kiamat. Publik tentu penasaran, seperti apakah dunia kalau kiamat nanti. Kedua, ada komentar dari salah satu petinggi MUI, yaitu H. Amidhan, bahwa film ini mengandung propaganda ‘agama’ tertentu. Maksudnya mungkin agama Kristen (saya tidak tahu, di mana unsur propaganda Kristennya dalam film ini; Roland Emmerich jelas seorang agnostik, dan tidak peduli dengan soal kekristenan).

Bahkan ada rumor bahwa film ini akan dilarang beredar, karena dianggap tidak ‘Islami’. Khawatir film ini tidak lagi beredar di pasaran, publik tak sabar untuk segera menontonnya. Sebuah media bahkan memberitakan bahwa di Bali, sejumlah penonton rela membeli tiket dengan harga dua kali lipat dari seorang calo.

Suatu kejadian yang menarik saya alami ketika saya menonton film ini Sabtu kemaren, 21/11/09, di Teater Hollywood Kartika Chandra. Saya saksikan banyak sekali ibu-ibu berjilbab yang ikut antri menonton film ini. Saya mempunyai kesan, mereka ini tampaknya bukan ibu-ibu yang masuk dalam kategori “movie goers” atau penggemar film, tetapi ibu-ibu masjid ta’lim yang mungkin baru seumur-umur menonton film. Mungkin karena mendapat kabar ‘burung’ bahwa film ini berkenaan tentang hari kiamat, mereka tergerak untuk menonton. Mungkin juga karena film ini dipersoalkan oleh seorang petinggi MUI, mereka jadi pensaran untuk melihatnya langsung.

Ala kulli hal, komentar “miring” H. Amidhan dari MUI itu justru menjadi “iklan gratis” bagi film itu. Mestinya, produser film 2012 harus memberikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Bapak Amidhan karena telah menjadi “juru iklan gratis” bagi film tersebut.

Apakah benar ini adalah film tentang hari kiamat? Jawaban saya dengan tegas: Tidak. Ini bukanlah film tentang “doomsday,” atau yaum al-qiyamah, dalam istilah Islamnya. Ini adalah film tentang bencana alam, natural disaster. Selama ini, sutradara Roland Emmerich memang dikenal sebagai spesialis di bidang film-film bencana alam. Salah satu filmnya yang sering saya tonton dan tak bosan-bosan adalah “Independence Day”. Fantasi Emmerich dalam film ini sungguh memukai: tentang serangan makhluk “asing” dari luar angkasa yang hendak menjajah bumi dan menghancurkan peradaban manusia.

Film Emmerich yang lain dan sangat laris adalah “The Day After Tomorrow”, tentang “pendinginan global” (bukan pemanasan global) di masa yang akan datang dan kembalinya Zaman Es (Ice Age).

Sebagaimana film-film Emmerich yang lain, film 2012 mempunyai ciri khas yang sama: yaitu fantasi yang liar tentang adanya bencana alam yang maha hebat, dan usaha manusia untuk “survive” atau selamat dari bencana itu. Film 2012 berbicara tentang dislokasi atau pergeseran lempeng bumi secara global yang menimbulkan tanah longsor dan gempa bumi di sekujur bumi. Bayangkan, gempa bumi di seluruh bumi! Gempa berkekuatan rata-rata di atas 9 dalam skala richter. Akibatnya, terjadilah tsunami global berupa ombak laut yang tingginya kira-kira 1500 meter. Tak ada satupun permukaan bumi yang selamat dari hempasan tsunami ini, keculai pucuk tertinggi Gunung Himalaya.

Apakah manusia musnah karena terjangan tsunami raksasa ini? Di sinilah seluruh kisah film 2012 berpusat. Film ini, sebagaimana film-film Emmerich yang lain, berkisah tentang “ikhtiar” manusia untuk selamat dari hempasan tsunami gigantik ini. Manusia tidaklah obyek pasif berhadapan dengan alam yang sedang “mengamuk”. Manusia memiliki kemampuan untuk “mengatasi” musibah alam dengan skala global.

Dalam film itu digambarkan bahwa datangnya bencana geologi global itu ternyata sudah diprediksi oleh sejumlah ilmuwan, dan suatu proyek rahasia dengan skala global yang melibatkan sebagian besar pemerintahan negara-negara besar dunia diam-diam dimulai. Yaitu membangun enam atau tujuh kapal besar yang mampu bertahan menghadapi hempasan tsunami raksasa itu. Kapal itu dibangun di sebuah tempat di daratan Cina. Ini adalah proyek yang sangat rahasia sekali. Prediksi tentang bencana global yang mengerikan itu juga sama sekali tak diberitahukan ke publik hingga detik-detik terakhir, khawatir menimbulkan kekacauan global.

Di lain pihak, film ini juga menggambarkan tentang perjuangan hidup-mati seorang penulis dari Los Angeles, Jackson Curtis (diperankan oleh John Cusack), pengarang novel yang sama sekali tak laku (hanya terbit 500 eksemplar) berjudul “Farewel Atlantis” yang juga berbicara tentang semacam bencana hebat. Perjuangan Curtis untuk selamat dari gempa dahsyat dan longsor bumi yang menghempas Los Angeles digambarkan dengan dramatis dalam film ini.

Salah satu daya tarik film ini adalah penggambaran tentang usaha untuk selamat dari situasi maut dalam hitungan detik. Siapapun tahu inilah “bumbu” dalam film-film laga Hollywood yang menjadikannya laris-manis seperti kacang goreng. Salah satu adegan dalam film ini yang membuat penonton menghela nafas adalah saat kapal induk raksasa John F. Kennedy menghantam Gedung Putih. Walaupun kita semua tahu ini adalah efek yang diciptakan melalui manipulasi komputer, tetapi adegan itu sendiri tetap memukau.

Ujung film itu jelas: Curtis, mantan isterinya dan kedua anaknya yang berjuang hidup mati untuk mencapai daratan Cina untuk naik kapal induk akhirnya berhasil. Peradaban manusia tidak musnah di tengah banjir global yang melanda seluruh permukaan bumi. Kapal induk itu membawa manusia dan sejumlah binantang untuk melanjutkan kehidupan baru paska-banjir. Misi kapal itu memang jelas: menyelamatkan spesies manusia dan peradabannya.

Barangsiapa pernah membaca kisah tentang Nabi Nuh, sebetulnya akan segara tahu bahwa kerangka film ini memang diambil dari kisah itu. Mungkin kebetulan, atau mungkin juga disengaja oleh Emmerich atau penulis senario, anak laki-laki Jackson Curtis, salah satu tokoh utama dalam film itu, bernama Noah (versi Inggris dari nama Nuh dalam bahasa Arab).

Dalam sebuah wawancara di TV, H. Amidhan dari MUI berkata bahwa film itu tidak sesuai dengan semangat Islam. Alasannya, antara lain, bahwa hari kiamat termasuk barang gaib yang tidak diketahui oleh Tuhan. Oleh karena itu visualisasi hari kiamat tidak diperbolehkan.

Saya sebetulnya tidak ingin menganggap serius pernyataan “ngawur” tokoh MUI ini. Tetapi kalau sekedar mau “uji argumen”, maka saya bisa menjawabnya sebagai berikut. Pertama, ini bukanlah film tentang hari kiamat. Ini adalah film tentang bencana alam global yang dahsyat. Bencana ini tidak membuat dunia musnah dan manusia hilang dari pemukaan bumi. Kalau kita merujuk pengertian “hari kiamat” dalam nomenklatur Islam, jelas pengertian kiamat di sana adalah akhir dunia.

Dalam film ini, dunia digambarkan tidak berakhir. Dunia masih terus ada, dan manusia selamat dari hempasan tsunami global dan akhirnya menemukan kembali “dunia dan kehidupan baru” di Afrika, tepatnya di Semenanjung Ujung Harapan (di Afrika Selatan). Jadi keliru sama sekali manakala H. Amidhan dari MUI menganggap bahwa film ini adalah tentang hari kiamat.

Kedua, apakah betul visualisasi tentang hal yang gaib tidak diperbolehkan dalam Islam? Dari mana hukum itu dipeorleh oleh H. Amidhan. Dalam Quran sendiri kita jumpai banyak visualisasi yang memikat tentang hari kiamat. Salah satu penggambaran hari kiamat yang agak-agak mendekati film Emmerich ini ada dalam Surah al-Takwir (Surah no. 81). Ayat ketiga dalam Surah itu berbunyi “wa idza ‘l-jibalu suyyirat”, ketika gunung berjalan. Dalam film Emmerich itu, digambarkan suatu proses dislokasi geologis yang dahsyat sehingga lanskap bumi berubah total. Gunung-gunung pindah lokasi, dan peta dunia seperti disusun kembali.

Sekali lagi, tak ada larangan apapun dalam Islam untuk memvisualisasi semua hal yang gaib, terutama hari kiamat.

Ketiga, film ini, dalam pandangan saya, justru sesuai dengan semangat Islam. Film ini “mengajarkan” (tentu ini istilah yang terlalu “dramatis” untuk sebuah film yang tidak diniatkan sebagai sebuah “ajaran agama") tentang pentingnya ikhtiar dan optimisme walaupun manusia sedang dilanda bencana dahsyat yang seolah-olah di luar kekuasaan mereka. Manusia bukanlah makhluk yang tunduk saja pada “nasib”, tetapi mampu berikhitiar. Dalam keadaan yang sesulit apapun, manusia tetap harus berusaha dan memiliki harapan. Bukankah ini adalah “nilai” yang justru sesuai dengan semangat “Islam”, Bapak Amidhan?

Sebagai penutup, film ini sebetulnya tidak menarik dari segi cerita. Kalau mengharap kisah yang kompleks dan menarik dari film ini, siap-siaplah untuk kecewa. Film ini menarik karena efek-efek visual yang sangat mengagumkan. Fantasi tentang bencana alam yang tak pernah terpikirkan oleh kita dan efek-efek visual yang dengan cerdik dimanipulasi oleh Emmerich untuk menggambarkannya adalah salah satu daya tarik film ini.

Ala kulli hal, saya terhibur sekali dengan film ini.